SDIK Imam An-Nawawi Aceh

  • Home
  • /
  • Serial Nasihat Ramadhan (28) – Wara’

Serial Nasihat Ramadhan (28) – Wara’

Ramadhan 28: Wara’

Adik-adik rahimakumullah, mari kita mengenal berbagai sifat terpuji selama bulan Ramadhan. Sifat terpuji dapat memudahkan kita dalam melakukan berbagai macam amal sholih. Pada hari ini kita akan mengetahui tentang sifat wara’. Yuk budayakan membaca sampai selesai supaya Allah ‘azza wa jalla memberkahi ilmu kita.

___________________________________________

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata wara’ yang syar’i adalah meninggalkan perkara-perkara yang dapat membahayakan nasib kita di akhirat, termasuk di dalamnya adalah meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat karena perkara syubhat itu terkadang merupakan hal membahayakan nasib seseorang di akhirat. Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin.

Sifat wara’ patut menjadi perhiasan setiap muslim. Dengan memilki sifat tersebut, hilanglah sifat serakah dan tama’ terhadap urusan dunia. Pemilik sifat ini akan mendahulukan hak orang lain dari pada haknya sediri, sehingga permusuhan, pertikaian dapat dihindari dan akhirnya hati pun penuh dengan kedamaian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)

Sikap wara’ memiliki banyak sekali keutamaannya, diantaranya:

  1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsan;
  2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa;
  3. Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih;
  4. Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian;
  5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.

Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani mengatakan bahwa sifat wara’ memiliki jenis dan tingkatannya, yaitu:

  1. Wajib yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang;
  2. Sunnah yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan;
  3. Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untuk sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin.

(lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).

Adik-adik ketahuilah, bahwa selalu banyak ibroh dari perjalanan kehidupan seorang yang shaleh. Tindakan mereka adalah teladan. Ucapan mereka tuntunan. Bahkan takdir yang mereka alami pun membuahkan faidah pelajaran. Berikut ini kisah-kisah wara’nya orang-orang sholeh zaman dahulu dalam menjalani kehidupan yang telah Allah tetapkan.

Sifat Wara’ Abu Hanifah

Yazid bin Harun berkata, “Saya belum pernah mendengar ada seseorang yang lebih wara’ dari pada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu rumah seseorang.” Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hanifah! Apa tidak sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh?” Beliau menjawab, “Pemilik rumah ini mempunyai hutang kepadaku beberapa dirham. Maka, saya tidak suka duduk di bawah naungan halaman rumahnya.”

Sebagaimana pula Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu pernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing tersebut telah mati. Sebab, beliau menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup? Dikatakan kepadanya, “Tujuh tahun.” Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk berhati-hati lantaran ada kemungkinan kambing haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari kambing tersebut yang berarti menzhalimi hatinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui benda itulah yang haram.

Sifat Wara’ Si Pembeli dan Penjual Tanah

Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang pembeli tanah perkarangan dari seorang yang lain, kemudian secara tidak sengaja sang pembeli tersebut menemukan sebuah tembikar berisikan emas di dalam tanah yang dibelinya. Sang pembeli tanah itu berkata kepada penjual tanah, “Ambilah emasmu ini, karena aku hanya membeli tanah saja darimu dan tidak membeli emas.” Sang penjual tanah itu menjawab, “Sesungguhnya saya sudah menjual tanah itu kepadamu beserta isinya, (maka emas itu menjadi milikmu.” Kemudian keduanya sepakat mengajukan perkaranya kepada seseorang, maka laki-laki tersebut akhirnya memberikan keputusan, “Apakah kalian berdua memiliki anak?” Maka salah satu dari keduanya menjawab, ‘Aku memliki seorang anak laki-laki.’ Dan berkata yang lain, ‘Aku memliki seorang anak wanita.’ Kemudian laki-laki itu mengatakan, ‘Nikahanlah keduanya dan sedekahkanlah harta itu untuk keduanya.’ Maka mereka pun melakukannya.”

Sifat Wara’ Abu Bakar As-shiddiq Radhiyallahu ‘anhu

Dari ‘Aisyah radhiallahu ’anha bahwa ayah beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq radliallahu ‘anhu memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar radliallahu ‘anhu (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar radliallahu ‘anhu memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?” Abu Bakar radliallahu ‘anhu balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?” Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makan ini.” Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau.” (HR. Bukhari no. 3629)

Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini. Mari berusaha menanamkannya dalam diri kita agar kita menjadi hambaNya yang beruntung. Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع

“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara” (HR. Ath Thabroni)

Wallahu a’lam bisshowab…

 

 

Leave Your Comment Here

WhatsApp WhatsApp